UTANG-PIUTANG
(TAFSIR AL BAQARAH 282)
PENDAHULUAN
Manusia juga dijuluki makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan,
atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup
menyendiri. Pertemanan tersebut dalam sosiologi diistilahkan sebagai relasi
sosial (social relation). Sedangkan dalam fiqih dinamakan dengan muamalah.
Relasi atau interaksi sosial sebagai sebuah kebutuhan manusia, maka
ketersediaan pedoman untuk menjaga kebutuhan tersebut juga sebuah keniscayaan.
Untuk kepentingan itu, manusia membuat peraturan-peraturan berdasarkan
keyakinan dan budaya mereka masing-masing. Manusia yang benar, menjadikan Al –
Quran dan Hadis sebagai pedoman dalam mewujudkan keharmonisan ber-muamalah.
Kedua sumber tersebut berisikan tentang aqidah dan syari’ah yang
kemudian syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.
Konsep muamalah yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis adalah
seluruh tindakan manusia tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, mengutamakan kemaslahatan umum, kesamaan hak dan kewajiban serta
melarang berbuat curang dan melarang berperilaku tidak bermoral di antara satu
dengan yang lain. Peraturan muamalah seperti itu salah satunya terdapat
dalam ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang hutang piutang. Untuk
mengetahui bagaimana peraturan hutang piutang dari ayat tersebut dan sejauhmana
dampak aturan itu terhadap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dalam
kajian ini penulis akan menafsirkan ayat 282 dari surat Al-Baqarah secara
mendalam.
PEMBAHASAN
1. Ayat dan Terjemahannnya
Tafsir Q.S Al-Baqarah: 282
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunia untuk waktu yang ditentukan, hendaklan kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika orang yang berutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada
dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,
dan janganlah kamu jemu menulis utang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli,
dan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulitkan (dipaksa). Jika kamu
lakukan (yang demikain), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
2. Penjelasan Istilah-Istilah Kunci
Beberapa masalah yang dibahas dalam ayat
ini, yakni:
Pertama, “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai”. Sa’id bin Musayyab mengatakan: Aku diperintahkan untuk memberitahukan
ayat Al-Qur’an yang tertuliskan di atas Arsy, yakni ayat tentang utang piutang.
Kedua,
“Apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan”. Kata بد
ين pada ayat ini
adalah untuk penekanan, seperti yang terdapat pada firman Allah, ولا طىر يطير بجنا
حيه” Dan
barang-barang yang terbang dengan kedua sayapnya.” (QS. Al-An’am [6] : 38).
Hakekat dari kata بد ين adalah keterangan dari semua transaksi dimana salah satu pihak
membayar dengan tunai dan pihak lainnya dalam tanggungan secara tempo. Kata العين menurut bahasa Arab adalah semua harta
yang ada dalam genggaman, sedangkan kata الد ين
semua harta yang tidak ada dalam genggaman. Lalu Allah SWT menjelaskan makna
tersebut dengan firman-Nya:الى
اجل مسمى”
Untuk waktu yang ditentukan.”
Ketiga,
“ Untuk waktu yang ditentukan.” Ibnu Al Mundzir mengatakan: firman Allah ini
menunjukkan bahwa pinjaman yang dilakukan dengan waktu yang tidak ditentukan
itu tidak diperbolehkan. Sebuah hadist shahih menyebutkan, bahwa ketika
Rasulullah hijrah ke kota Madinah, penduduk Madinah saat itu sudah terbiasa
bertransaksi dengan cara berutang untuk menanam tanaman mereka, dengan jangka
waktu pelunasan dua atau tiga tahun. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “barang
iapa yang ingin bertransaksi Salam pada kurma, maka bertransaksilah, dengan
timbangan yang diketahui, takaran yang diketahui, dan waktu yang diketahui.”
Hadist ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, oleh imam AL Bukhari, imam Muslim, dan
para imam hadist lainnya[1].
Ibnu Umar juga pernah mengatakan:
Dahulu, masyarakat jahiliyah terbiasa jual beli daging unta yang masih dalam
kandungan, kemudian ketika Rasulullah SAW diutus kepada mereka, beliau melarang
jual beli dengan cara demikian.[2]
Seluruh ulama Islam juga sepakat bahwa
transaksi Salam itu dibolehkan, yakni: mereka membolehkan jika ada seseorang
yang menyerahkan (menjual) makanan dengan kapasitas yang diketahui timbangan
dan waktunya, dengan pembayaran berupa dinar atau dirham yang diserahkan
sebelum kedua belah pihak berpisah dari tempat bertransaksi. Maka transaksi ini
dinamakan Salam (dengan kata lain, Salam adalah pembelian barang yang akan
diserahkan kemudian, sementara pembayaran diberikan di muka). Transaksi yang
mereka lakukan ini sah dan diperbolehkan, tidak ada stupun ulama yang
membantahnya.
Keempat, para ulama membatasi definisi
Salam, mereka berpendapat bahwa Salam adalah pembelian seuatu yang diketahui
namun dalam tanggungan (diserahkan kemudian hari) hingga pada waktu yang
ditentukan, dan spesifikasi barang yang jelas diketahui. Itulah yan disepakati
oleh para ulama madzhab Maliki, yaitu membolehkan pembayaran yang dilakukan
setelah dua atau tiga hari dari transaksi karena kedekatannya. Entah itu dengan
menggunakan syarat ataupun tidak.
Asy-Syafi’i dan para ulama Khufah tidak
menyetujuinya, mereka tidak memperbolehkan penundaan bayaran dari waktu
transaksi Salam hingga waktu mereka berpisah dari tempat transaksi. Mereka
berpendapat bahwa transaksi Salam sama hukumnya dengan penukaran yang harus
diserahkan saat itu juga.
Kelima,
Kata السلم
dan السلف
dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama, dan keduanya juga sama-sama dalam
hadist Nabi SAW dengan makna yang serupa. Terkecuali hadist Nabi SAW yang
melarang jual beli sesuatu yang tidak kamu miliki[3],
lalu diberi keringanan pada jual beli secara Salam. Karena jual beli secara
Salam adalah jual beli yang diketahui oleh kedua belah pihak, walaupun salah
satu pihak tidak menyerahkan kewajibannya pada saat itu, namun kedua pihak yang
melakukan transaksi sama-sama sangat membutuhkannya.
Keenam,
Syarat yan harus dipenuhi dalam jual beli Salam:
a.
Syarat pada barang
1.
Harus spesifik dan dapat diakui sebagai
utang
2.
Spesifikasi sifat-sifat barang telah
diketahui
3.
Barang tersebut bernilai
4.
Penyerahn barang dilakukan di kemudian
hari
5.
Waktu penyerahan barang diketahui
6.
Barang haeus ada di tempat pada waktu
yang telah ditentukan
b. Syarat
pada modal atau uang
1.
Modal harus diketahui jenisnya
2.
Bernilai
3.
Tunai
Oleh
karena itu jual beli Salam haruslah memiliki tenggang waktu untuk masa
penyerahan barang, agar tercapai semua syarat, sifat, dan akadnya, serta
ketetapan syariatnya pun dapat terpenuhi.
Ketujuh, Penjual (al muslam ilaih) dan pemilik barang (al muslam fih) tidak termask dalam syarat transaksi Salam. Berbeda
dengan pendapat yang diikuti oleh beberapa ulama salaf. Dalilnya adalah riwayat
Al Bukhari dari Muhammad bin Al Mujalid, yang artinya: “ Aku pernah dikirim
oleh Abdullah bin Syadded dan Abu Burdah kepada Abdullah bin Abi Aufa, mereka
berkata kepadaku: “ Tanyakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah pada saat
Nabi SAW melakukan transaksi Salam pada biji gandum?” lalu ketika aku telah
menemui Abdullah bin Abi Aufa dan bertanya kepadanya, ia menjawab: “ Kami
terbiasa melakukan jual beli Salam biji gandum, gandum, dan margarin, dengan
penduduk Syam, dengan timbangan yang diketahui dan jangka waktu yang
diketahui.”
Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah
mereka memiliki hasil pertanian?” ia menjawab: “ Kami tidak pernah
menanyakannya.” Kemudian aku dikirimi lagi oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu
Burdah kepada Abdurrahman bin Abza. Lalu aku pun segera menemuinya dan bertanya
mengenai hal tersebut, ia menjawab: “Pada saat Nabi SAW masih hidup, para
sahabat Nabi SAW terkadang melakukan hal itu, namun kami tidak pernah bertanya
apakah mereka memiliki cocok tanam atau tidak.[4]
Kedelapan, Abu Daud meriwayatkan, dari Sa’ad
(yakni Ath-Tha’i), dari Athiyah bin Sa’ad, dari Abu Sa’id Al Khudri, ia
berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “ barang siapa yang melakukan
transaksi Salam pads sesuatu, maka janganlah ia mengalihkannya kepada transaksi
lain.[5]
Imam Malik mengatakan[6],
Menurut pendapat kami, bagi orang yang melakukan transaksi jual beli Salam pada
makanan dengan harga dan waktu yang diketahui, lalu pada saat waktu yang
ditentukan tiba, barang yang dijual tidak ada di tangan penjual maka transaksi
tersebut rusak atau batal. Dengan demikian, sang pembeli hanya boleh mengambil
perak, atau emas, atau uang (modal) yang diberikannya. Modal yang diberikannya
itu ia tidak dikatakan membeli hingga barang yang dipesan ada di tangannya.
Jika si pembeli mengambil dari selain
harga yang telah dibayarkannya atau dipalingkan dengan barang selain
makanan yng hendak dibeli, maka ini
termasuk menjual makanan sebelum makanan itu diterima (menjadi miliknya). Malik
berkata: Rasulullah SAW melarang menjual sesuatu yang belum diterima (menjadi
miliknya)[7].
Kesembilan, Firman Allah SWT, فا كتبوه “Hendaklah kamu menuliskannya.” Yakni menuliskan utang tersebut
dan waktu pembayarannya. Beberapa ulama mengatakan: perintah pada ayat ini
adalah untuk menuliskan, namun makna sebenarnya adalah perintah untuk
menuliskan serta mempersaksikan, karena penulisan tanpa disaksikan tidak dapat
menjadi hujjah yang kuat. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa perintah
penulisan tersebut adalah agar kedua belah pihak tidak ada yang lupa dengan
trnsaksi.
Kesepuluh, beberapa ulama berpendapat bahwa
penulisan utang piutang itu hukumnya wajib bagi yang bersangkutan. Ayat inilah
yang mewajibkannya, entah itu berupa pinjaman atau berupa jual beli. Agar tidak
terjadi pengingkaran di masa yang akan datang. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa perintag penulisan utang ini disunahkan saja, untuk penjagaan
atas harta dan keragu-raguan pun dapat sirna. Jika orang yang berhutang adalah
orang yang bertaqwa maka ia tidak akan merasa terganggu dengan penulisan
tersebut sebagai dokumen yang dapat dipercayai atas utangnya dan sebagai
kebutuhan bagi pemilik harta.
Kesebelas, Firman Allah SWT, وليكتب بينكم كا
تب با لعدل “
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Atha’
serta ulama lainnya mengatakan[8],
Yang diwajibkan untuk menuliskannya adalah seorang penulis (yang bekerja
dibidang tersebut/seorang yang dipercaya).
Adapun mengenai huruf lam taukid yang dituliskan pada awal kata ini dan dihapuskan pada kata
sebelumnya, adalah karena bentuk kata kedua ini adalah ghaib (orang ketiga) sedangkan bentuk kata pertama adalah mukhathab (orang kedua). Namun bisa juga
huruf lam taukid ini diletakkan pada
kata mukhathab-nya dan dihapuskan
pada kata ghaib-nya, seperti yang
disebutkan dalam firman Allah SWT. فلتفر حوا bagi yang
membacanya dengan menggunakan huruf ta’.
Kedua
belas, Firman Allah SWT, وليكتب بينكم كا تب بالعدل“Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Makna
dari kata بالعدل pada ayat ini adalah dengan benar dan sesuai. Yakni, ia tidak
menuliskan lebih dari yang semetinya atau kurang dari yang seharusnya.
Adapun alasan dari
penyebutan kata بينكم “diantara kamu” dan bukan احدكم “salah satu dari kamu”
adalah, karena jika yang menuliskannya adalah salah satu dari pihak yang
bertransaksi maka bisa jadi pihak yang lainnya akan menuduh penyelewengan
penulisannya. Oleh karena itu, Allah SWT. penulisan tersebut oleh penulis
diluar dari kedua orang yang bertransaksi, dan dengan cara benar, tidak memihak
salah satu diantara keduanya.
Ketiga
belas, Huruf ba’
pada firman Allah SWT. بالعدل itu kaitannya
kepada firman-Nya وليكتب, bukan kepada kata كا تب, karena dalam penulisan ini tidak perlu seorang yang benar
untuk menuliskannya, namun yang terpenting adalah ia menuliskannya dengan benar.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa penulisan dokumen sebaiknya tidak
ditulis oleh seseorang kecuali ia benar-benar mengetahui perihal isi dokumen
tersebut, dan ia juga dapat dipercaya. Dalilnya adalah firman Alllah SWT.
Al Qurthubi
berpendapat, Jika demikian, huruf ba’
pada firman Allah SWT. بالعدل itu kaitannya
kepada kata كا تب, yakni sebaiknya penulisan tersebut
ditulis oleh seorang penulis yang benar. Dengan demikian, maka kata بالعدل pada ayat ini berposisi sebagi sifat dari si penulis.
Keempat
belas, Firman Allah SWT. ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله“Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagimana Allah telah mengajarkannya.”
Pada ayat ini Allah SWT. melarang penulis atau pencatat untuk menolak jika
diminta untuk menuliskannya.
Ath-Thabari dan Rabi’
berpendapat bahwa penulisan itu diwajibkan bagi seorang penulis jika ia
diminta. Sedangkan Al Hasan berpendapat: Penulisan itu diwajibkan atasnya jika
tidak ada lagi selai dia, karena dengan menolak maka hal itu akan manyulitkan
pemilik piutang. Namun jika ada penulis lain selainnya maka ia diberi kebebasan
memilih, ia mau atau tidak mau menulis. As-Suddi menambahkan: Penulis tersebut
tetap diwajibkan jika ia dalam keadaan tidak sibuk dan memiliki banyak waktu
kosong.
Al Mahdawi meriwayatkan
dari Rabi’ dan Adh-Dhahak bahwa firman Allah SWT, ولا
يأب كاتب أن يكتب “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya” ini telah dihapus
dengan firman Allah SWT, ولا يضار كاتب ولا شهيد
“Dan janganlah penulis dan saksi merasa
dipersulit (dipaksa).”
Al Qurthubi
berpendapat, ini sejalan dengan pendapat yang mengira bahwa pada masa awal
Islam penulisan ini diwajibkan bagi setiap penulis yang dipilih oleh kedua
orang yang bertransaksi, ia tidak boleh menolak permintaan tersebut, hingga
akhirnya kewajiban ini dihapus dengan firman Allah SWT, ولا يضار كاتب ولا شهيد “Dan
janganlah penulis dan saksi merasa dipersulit (dipaksa).”
Pendapat hukum nasakh (penghapusan) pada ayat ini
sangat jauh dari kebenaran, karena belum ada satu orang pun, yang pendapatnya
itu dapat dibuktikan, yang mengatakan bahwa seorang penulis itu diwajibkan
untuk menuliskannya sebuah transaksi jika dikehendaki oleh kedua orang yang
bertransaksi.
Jika saja penulisan ini
diwajibkan, maka tidak mungkin dibenarkan penyewaan jasa tulis, karena penyewaan
pada perbuatan yang wajib itu tidak diperbolehkan. Sedangkan para ulama sepakat
bahwa mengambil keuntungan dari penyewaan jasa tulis untuk penulisan dokumen
atau yang lainnya itu dibenarkan.
Kelima
belas, Firman Allah SWT, كما علمه الله فليكتب”Sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” Huruf kaf pada kata كما itu kaitannya kepada firman-Nya أن يكتب, yang maknanya menuliskan transaksi itu sebagaimana Allah telah
mengajarkannya untuk menulis.
Atau kata كما, ada kaitannya kepada firman-Nya ولا يأب, yang maknanya menjadi: sebagaimana engkau telah diberikan
kenikmatan oleh Allah SWT. dengan ilmu penulisan maka janganlah kamu enggan
menuliskannya, gunakanlah fadhilah yang Allah telah fadhilahkan kepadamu.
Keenam
belas, Firman Allah SWT, وليملل آلذى عليه آلحق وليتق آلله ربه, ولا
يبخس منه شيىا“Dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya.”
Yakni agar orang yang berutang dapat mengakui dengan lisannya sendiri tentang
pinjaman tersebut, dan mendiktekannya kepada si penulis agar ia dapat
memahaminya.
Ayat ini Allah SWT.
memerintahkan kepada orang yang berutang untuk mendiktekan apa yang harus
dituliskan oleh si penulis, karena persaksian itu diambil dari pengakuan yang
berutang tadi melalui pengejaannya. Allah SWT. juga memerintahkan kepadanya
untuk bertakwa kepada-Nya atas apa yang didiktekannya itu. Allah SWT. juga
melarang untuk mengurangi sedikitpun dari utangnya dan menyimpang dari
kebenaran.
Ketujuh
belas, Firman Allah SWT. فان كا ن آلذي عليه آلحق سفيها أوضعيفا أولا
يستطيع أن يمل هو“Jika yang berutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan
(mendiktekan).” Beberapa pendapat mengatakan bahwa maksud dari kata سفيها pada ayat ini adalah anak-anak yang masih kecil. Namun maksud
tersebut tidak dapat diterima, karena kata
سفيها sering pula disebutkan
untuk orang-orang yang sudah besar namun tidak berakal.
Kedelapan
belas, Firman Allah SWT, أو ضعيفا أولا يستطيع أن يمل هو فليملل وليه,
بالعدل“Atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” Makna dari kata ضعيفا pada ayat ini adalah orang-orang yang
lemah akalnya secara fitrah dan orang-orang yang tidak mampu untuk mengeja,
entah itu karena penyakitnya atau ketuliannya atau atau karena yang lainnya.
Jika demikian, maka yang berhak menjadi walinya adalah orang tuanya atau aahli
warisnya. Jika para wali ini juga tidak dapat menyaksikannya, entah karena
sakit ataupun alasan syar’i lainnya, maka yang menjadi walinya adalah
perwakilan dirinya.
Sembilan
belas, Firman Allah SWT, فليملل وليه بالعدل “Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.” Ath-Thabari berpendapat bahwa dhamir yang terdapat pada kata وليه itu kembalinya pada kata آلحق, lalu ia menyandarkan pendapatnya ini kepada Rabi’ dan Ibnu
Abbas. Adapula yang berpendapat bahwa tempat kembalinya dhamir tersebut adalah الذى عليه آلحق“orang yang berutang itu.” Pendapat
inilah yang benar, sedangkan pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas itu
tidak dapat dibenarkan. Karena bagaimana mungkin utang itu dapat dipersaksikan,
dan memberikan beban utang itu kepada orang yang lemah akalnya, dengan tulisan
yang diejakan dari orang yang memiliki piutang? Ini bukanlah ajaran syariat
yang benar.
Keduapuluh,
Firman Allah SWT, وليملل
الذى عليه آلحق “Dan
hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yangakan ditulis itu).”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berutang itu lebih dapat dipercaya
mengenai apa yang diucapkan mengenai apa yang diucapkan dan disandarkan darinya
mengenai utangnya.
Hal ini juga menandakan
bahwa ucapan orang yang menggadaikan (beserta sumpahnya) itu lebih dapat
diterima daripada ucapan orang yang menerima penggadaiannya, yaitu tatkala
mereka berselisih paham tentang banyaknya utang orang yang menggadaikan.
Misalkan orang yang menggadaikan mengatakan: “aku menggadaikan barang ini dan
menerima uang lima puluh ribu” sedangkan
yang menerima penggadaiannya mengatakan: “aku menerima barang ini dan
menyerahkan uang seratus ribu”. Maka yang diterima adalah perkataan dari orang
yang menggadaikan.
Pendapat ini adalah
diikuti oleh kebanyakan para ulama. Ibnu Al-Mundzir juga menambahkan, karena
biasanya orang yang menerima penggadaian itu menginginkan uang kembali yang
lebih banyak dari uang yang diberikannya.
Pegadaian biasanya
memberikan uang lebih sedikit dari harga barang yang digadaikan, dan tidak
mungkin yang setara. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa “orang
yang menerima penggadaian masih dianggap jujur apabila yang didakwakan masih
harga yang setara dengan harga barang yang digadaikan” maka hal ini tidak dapat
diterima.
Keduapuluh
satu,
Firman Allah SWT, وآستشهدوأ
شهيد ين من رجا لكم “Dan dipersaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang –orang lelaki (diantara kamu).” Makna dari kata وآستشهدوأ pada ayat ini adalah meminta mereka untuk menyaksikan atau
bersaksi. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kesaksiannya, apakah
diwajibkan atau disunahkan. Namun hukum yang benar dari sebuah persaksian
adalah disunahkan.
Keduapuluh
dua,
Firman Allah SWT, شهيد
ين “Dua orang saksi.” Allah SWT. telah menetapkan persaksian dengan
segala hikmahnya dalam hak keuangan, jasmani, dan hukuman. Allah SWT. juga
telah menetapkan untuk setiap jenisnya mengharuskan dua saksi.
Keduapuluh
tiga,
Firman Allah SWT, من
رجا لكم “Dari orang-orang lelaki (di antaramu).” Ini adalah bentuk ketetapan
yang tidak memerlukan penafsiran pada kesaksian yang harus dilakukan oleh dua
orang laki-laki dewasa yang beragama Islam. Oleh karena itu, persaksian akan
ditolak jika dilakukan oleh orang kafir, wanita, dan anak-anak. Adapun hamba
sahaya, lafazh ayat ini juga meliputi mereka. Para Mujahid dan diikuti oleh Al
Qadhi Abu Ishak mengatakan: yang dimaksud dari ayat tersebut adalah orang-orang
yang merdeka saja.
Persaksian bagi orang
yang tuna netra, beberapa ulama menerima persaksian tersebut jika ia
mendengarkan langung dari suara orang lain, karena ia seakan telah mengambil
kesimpulan dengan pendengarannya hingga sampai batas meyakini. Mereka juga
berpendapat bahwa kemiripan suara itu seperti layaknya kemiripangambar dan
warna. Namun pendapat ini lemah, kerena dengan berpendapat seperti itu berarti
memperbolehkan sandaran kepada suara bagi orang yang tidak buta.
Al Qurthubi
berpendapat, Mengenai persaksian orang buta, dalam madzhab Malik disebutkan
bahwa persaksian atas suara itu dibolehkan pada masalah perceraian atau yang
lainnya, apabila ia benar-benar mengenali suara tersebut.
Keduapuluh
empat, Firman Allah SWT, فان لم يكونا ر جلين فرجل وآمر أتان“Jika
tidak ada dua oarng lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan.”
Maknanya adalah, jika orang yang meminta dipersaksikan tidak mendatangkan dua
orang laki-laki maka ia harus menghadirkan satu orang laki-laki dan dua orang
wanita. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama.
Kata فرجل pada ayat ini marfu’ (berharakat
dhammah) karena ia sebagai mubtada’
(sujek), sedangkan kata وآمر أتان adalah sambungan darinya. Adapun khabar
dari kalimat tersebut tidak disebutkan. Kemungkinan yang seharusnya adalah:
maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang menggantikan persaksian dua
orang laki-laki tadi.
Kata فرجل ini dapat juga menjadi manshub
(berharakat fathah), yakni: persaksikanlah satu laki-laki dan dua perempuan.
Ulama lain menafsirkan,
makna dari ayat ini jika tidak ada dua orang laki-laki. Dengan demikian, persaksian
dua orang wanita dengan satu orang laki-laki ini tidak diperbolehkan jika masih
ada satu orang laki-laki lain
Ibnu Athiyah mengatakan[9]
pendapat ini lemah, karena lafadzh ayat tidak menunjukkan seperti itu. Yang
jelas dari ayat diatas adalah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, yakni
jika yang bersaksi itu bukan dua orang laki-laki, yakni jika pemilik piutang
lupa mendatangkan dua orang laki-laki sebagai saksi, atau ia tidak dapat
mendatangkan dua orang laki-laki sebagai saksi karena ada alasan tertentu yang
syar’I, maka persaksian itu dibolehkan untuk dilakukan oleh satu orang
laki-laki dan dua orang wanita
Hal ini dibolehkan hanya untuk masalah
keuangan saja, tidak untuk yang lainnya, karena pada masalah keuangan Allah SWT
telah menyebutkan banyak sekali cara meratifikasikannya, juga karena banyaknya
bentuk pencarian, dilakukan oleh semua orang, dan pengulangannya
Tidak ada satu orang yang tahu tentang
agama akan mengatakan bahwa firman Allah SWT, إِذَاتَدَايَنتُم بِذَيْنِ “ Apabila kamu bermualmalah tidak secara
tunai” juga mencakup utang dalam masalah
mahar, perdamaian, atau diyat pada sebuah pembunuhan. Karena persaksian atas
perkara-perkara tersebut bukanlah persaksian atas perutangan, akan tetapi
persaksian atas pernikahan
Keduapuluh
lima,
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut, yakni persaksian anak-anak
kecil jika ada yang tersakiti tubuhnya diantara mereka. Menurut imam Malik
persaksian itu dibolehkan apabila mereka tidak saling berbeda pendapat dan
belum berpisah. Namun tetap persaksian tersebut tidak boleh kurang dari dua
orang.
Berbeda pendapat dari Syafi’I dan Abu
Hanafiah beserta para pengikutnya, mereka tidak membolehkan persaksian yang
dilakukan oleh anak-anak kecil. Dalilnya adalah firman Allah SWT, مِن رِّجَالِكُمْ“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai” Dan firman Allah SWT,
وَأَشْهِدُوأذَوَىْ
عَدْلٍ مِّنكُمْ “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (Qs.Ath-Thalaq
[65]: 2)
Keduapuluh
enam,
Allah SWT telah menjadikan persaksian dua orang wanita itu sama dengan
persaksian satu orang laki-laki maka hukum dua orang wanita sama dengan hukum
satu orang laki-laki. Oleh karena itu, dalam madzhab kami (Maliki) dan juga
madzhab Syafi’I, karena persaksian satu orang laki-laki sudah cukup jika
disertakan dengan sumpah, maka begitu juga dengan persaksian dari dua orang
wanita jika menyertakan sumpah
Hal ini dibantah imam Abu Hanifah
beserta para pengikutnya, mereka mengatakan, Sesungguhnya Allah SWT telah
membagi-bagikan hukum persaksian menurut perannya masing-masing, dan Allah SWT
tidak menyebutkan persaksian yang disertakan dengan sumpah. Pendapat ini juga
diikuti oleh Ats-Tsauri, Al Auza’I, Atha’, Hakam bin Utaibah, dan beberapa
kalangan lainnya.
Tidak
ada dalam firman Allah SWT, واستشهد وأشهيدين من رجالكم...“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu)…” hingga akhir ayat, yang menandakan bahwa ayat ini
bertentangan dengan ketetapan Rasulullah SAW yang membolehkan persaksian yang
menyertakan sumpah.
Para imam hadits meriwayatkan sebuah
hadits dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa Nabi SAW telah menetapkan satu
orang saksi dengan menyertai pengambilan sumpah.
Para sahabatpun tidak ada yang
mengingkari hukum pembolehan satu orang saksi dengan disertai sumpah ini,
justru yang diriwayatkan dari mereka adalah pendapat dan praktek yang sama.
Keduapuluh
tujuh, Al Qadhi Abu Muhammad bin Abdul Wahab berpendapat,
Kesaksian itu hanya untuk perkara keuangan dan yang berkaitan dengannya, bukan
pemutusan perkara yang berkaitan dengan tubuh (hukuman qishash atau hukuman
lainnya). Dalilnya adalah ijma para ulama yang berpendapat seperti ini. Ia
melanjutkan: Karena perkara keuangan lebih ringan daripada perkara tubuh,
buktinya adalah diterimanya kesaksian para wanita dalam masalah ini.
Al Mahdawi menyampaikan, Dalam masalah hudud
(peraturan hukuman), kesaksian para wanita itu tidak diperbolehkan, menurut
pendapat para ulama pada umumnya. Begitu juga dalam masalah pernikahan dan
perceraian, menurut pendapat kebanyakn ulama. Pendapat ini juga diikuti oleh
madzhab Maliki, madzhab Syafi’I, dan madzhab-madzhab lainnya. Lalu madzhab
Maliki menambahkan: Mereka (para wanita itu) hanya diperbolehkan melakukan
kesaksiaan dalam masalah keuangan saja.
Keduapuluh delapan, Firman Allah
SWT, ممّن ترضون
من الشّهداء “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. Kalimat
ini terletak pada posisi marfu’ (berharakat Dhammah), karena kalimat ini
sebagai keterangan sifat dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan pada
kalimat sebelumnya.
Ibnu Bukhari dan ulama lainnya
berpendapat bahwa kalimat ini ditujukan kepada para hakim untuk memilih para
saksi yang mereka ridhai. Namun pendapatan ini dibantah oleh Ibnu Athiyah, ia
mengatakan pendapat ini tidak baik
Keduapuluh
sembilan, Firman Allah SWT, ممّن
ترضون من الشّهداء“Dari
saksi-saksi yang kamu ridhai”. Firman ini menandakan bahwa para saksi itu belum
tentu disukai dan diterima oleh orang lain. Dari sinilah lalu para ulama
mensyaratkan kepada para saksi untuk memiliki sifat baik, adil dan tidak
berpihak kepada siapapun.
Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah, ia
mengatakan: siapapun yang beraga islam yang nyata keislamannya dan tidak
berbuat kefasikan secara nyata, maka ia diperkenankan untuk melakukan
kesaksian. Walaupun ia seorang yang tidak diketahui keadaanya.
Al-Qurthubi) berpendapat, ini memperluas
wilayah siapa saja yang diperbolehkan untuk bersaksi, termasuk juga diantaranya
kesaksian orang-orang badui (kalangan masyarakat terisolir/hidup tidak menetap
dan selalu berpindah-pindah atas orang-orang perkotaan (kalangan masyarakat
modern/masyarakat yang menetap disuatu daerah tertentu). Dengan syarat orang
badui tersebut juga bersifat adil dan diridhai kesaksiannya. Sedangkan Ahmad
bin Hanbal, dan sebuah riwayat dari Malik yang disampaikan oleh Ibnu Wahab,
menjelaskan bahwa kesaksian orang-orang badui atas orang-orang perkotaan itu
tidak dapat diterima.
Dalil
mereka adalah hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa beliau pernah
bersabda,
لاَتَجُوزُشَهَادَةُبَدَوِيِّ
عَلَى صَاحِ قَرْيَةٍ
“Kesaksian orang
Badui terhadap orang perkotaan itu tidak diperbolehkan”[10]
Ketigapuluh,
jika ada seseorang yang memiliki kepribadian yang agung yang tidak dimiliki
oleh orang lain, dan kelebihan akhlak yang dapat dibanggakan, maka sifat
seperti ini membuat orang tersebut lebih berhak untu bersaksi dibandingkan
orang lain.
Menurut madzhab kami, hal ini merupakan
bukti yang kuat untuk hukum yang lain, yakni pembolehan berijtihad dan
mengambil intisari dari sebuah dalil, dengan tanda-tanda yang terlihat jelas
ataupun yang tersembunyi dari makna dan hukum yang tertulis.
Ketigapuluh
satu,
Abu Hanifah berpendapat, bahwa dalam perkara keuangan seorang saksi hanya cukup
memiliki syarat keislaman saja, namun tidak dalam perkara hudud (hukuman).
Namun pendapat ini ditentang oleh Ibnu Al-Arabi, ia mengatakan bahwa pemisahan
ini telah menggugurkan pendapatnya sendiri dan membenamkan maksudnya.
Ketigapuluh
dua,
menurut Al Qurthubi, Pendapat Abu Hanifah pada bagian ini sangat lemah sekali,
karena Allah SWT sendiri telah mensyaratkan keridhaan dari sifat adil, dan
seseorang tidak dapat dikatakan diridhai hanya karena menyandang status islam
saja
Firman
Allah SWT;
(٢٠٤) الْخِصَام أَلَدُّ وَهُوَ ،قَلْبِهِ فِي مَا عَلَى اللّهَ وَيُشْهِدُ الدُّنْيَا الْحَيَاةِ فِي ،قَوْلُهُ يُعْجِبُكَ مَن النَّاسِ وَمِنَ
الفَسَاد
يُحِب لاوَاللّهُ وَالنَّسْلَ الْحَرْثَ وَيُهْلِكَ فِيِهَا لِيُفْسِدَ الأَرْضِ فِي سَعَى تَوَلَّى وَإِذَا
“Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia
berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak
tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
(Qs.Al Baqarah [2]: 204-205)
Ketigapuluh
tiga,
Firman Allah SWT, أن تضل إحدنهما فتذكرإحدنهماالأخرى “Supaya jika seseorang lupa maka seorang
lagi mengingatkan. Mengenai makna dari kata تضل,Abu Ubaid mengatakan artinya adalah terlupakan(namun arti
sebenarnya dari kata tersebut adalah tersesat). Maksud tersesat dalam suatu
kesaksian adalah ingat pada satu bagian dan lupa pada bagian lainnya, lalu
orang yang tersebut kebingungan hingga akhirnya tersesat dalam kesaksiannya.
Adapun kata أن yang menjadi bacaan jumhur, dibaca oleh
Hamzah menjadi إن (dengan menggunakan harakat kasrah pada huruf hamzah) yang
berarti kata tersebut adalah kata klausa, dan jawabnya terdapat pada kata فتذكر
Ketigapuluh
empat, Firman Allah SWT, فتذكرإحدنهماالأخرى“ Maka seorang lagi mengingatkannya”. Kata فتذكر yang dibaca oleh jumhur demikian, berbeda
dengan qira’at yang dibaca oleh Ibnu Katsir dan Abu Amru, yaitu فتذكر (dengan menghilangkan tsydid pada huruf
kaaf), yang maknanya menjadi agar mereka dapat menjadi seperti laki-laki dalam
bersaksi.
Al
Qurthubi berpendapat, Namun Abu Amru meralat pendapatnya dan mengikuti pendapat
jumhur , yakni jika salah satu dari kedua wanita itu terlupa maka wanita yang
lainnya akan mengingatkannya.
Ketigapuluh
lima, Firman Allah SWT, ولا يا ب ا لشهد ا ء ٳ ذ ا ما د عو ٲ
“Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”
Al Hasan
mengatakan, firman ini terkumpul dua makna sekaligus, yaitu janganlah
anda menolak apabila anda diminta untuk mendatangkan saksi dan janganlah anda
menolak apabila anda diminta untuk menjadi saksi. Pendapat ini juga pernah
disampaikan oleh Ibnu Abbas.
Lalu makna lainnya juga disampaikan
oleh Ibnu Abbas dan Qatadah dan Rabi’ yakni, agar mereka dapat
pertanggungjawabkan dan membuktikan apa yang mereka persaksikan.
Al Qurthuby mengatakan, ayat ini
dapat juga sebagai dalil bagi seorang imam untuk membentuk tim saksi, yang
dibiayai dari baitul mal. Dengan demikian tim tersebut tidak akan disibukkan
dengan hal lainnya kecuali menyalurkan dan menjaga setiap hak untuk diberikan
kepada pemiliknya masing-masing. Karena jika tim ini tidak dibentuk maka akan
ada hak-hak yang dapat hilang. Ataupun terdzalimi. Dengan begitu maka ayat ini
adalah: para saksi harus memenuhi permintaan seorang iman untuk bersaksi.
Ketigapuluh
enam, setelah
dipahami, firman Allah SWT ketigapuluh delapan, ولا يا ب ا لشهد
ا ء ٳ ذ ا ما د عو ٲ , menunjukkan bahwa saksilah yang harus menyerahkan dirinya
kepada hakim untuk bersaksi, hal ini juga seperti yang ditunjukkan oleh
syari’at, dipraktekkan dari zaman ke zaman dan yang dipahami juga oleh umat
secara umum.
Ketigapuluh tujuh, jika telah
terbukti demikian adanya, maka para hamba sahaya tidak dapat dimasukkan dari
kelompok para saksi. Keterangan ini mengkhususkan keumuman firman Allah SWT, من ر جا لكم“ Dari orang-orang lelaki
(diantaramu).” Karena seorang hamba sahaya tidak mungkin memenuhi sebuah
panggilan, dan ia juga tidak diperbolehkan datang, karena ia tidak memiliki
kemerdekaan untuk memutuskan sendiri, semua gerak geriknya harus seizin orang
lain yang memilikinya.
Ketigapuluh delapan, Sabda
Rasulullah SAW, لهأ خيرالشهداءالذ ي يٲ تي بشهادته قبل ٲ ن يس “Sebaik-baiknya
saksi adalah yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta[11].” Hadits
ini diriwayatkan oleh para imam hadits.
Paling benar adalah, bahwa melakukan
kesaksian itu diwajibkan, walaupun tanpa diminta, apabila ia yakin jika ia
tidak melakukannya maka akan ada hak yang hilang, atau terlambat diberikan,
atau akan terjadi percampuran suami istri setelah perceraian, atau akan terjadi
kesewenang-wenangan atas seorang mantan budak yang telah dibebaskan oleh mantan
tuannya, atau yang lain sebagainya. Oleh karena itu orang tersebut diwajibkan
melakukan kesaksian dan juga semestinya tidak menunggu diminta untuk bersaksi,
agar tidak ada hak yang akan hilang.
Ketigapuluh sembilan, Ibnu Al Qasim dan ulama lainnya mengatakan
bahwa tidak diragukan lagi bahwa seseorang yang diwajibkan untuk melakukan
kesaksian , lalu ia tidak melakukannya maka perbuatannya itu akan berbekas pada
dirinya dan kesaksiannya, entah itu kesaksian untuk hak kemanusiaan ataupun
hak ke-Tuhan-an.
Keempatpuluh, sebuah
riwayat dari Imam bin Hushain menyebutkan, Rasulullah SAW pernah bersabda:
إن خيركم فرني شم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين
يلونهم— ثم قال عمران — فلاأدري,أفالرسول الله صلىالله عليه وسلم بعدفرنه – مرتين
أوشلاشة – شم يكون بعدهم قوم يشهدونولايستشهدون, ويخونون ولايؤتمنون, ويندرون
ولايوفون, ويظهرفهم السمن.
“sesungguhnya
sebaik-baik (orang yang beriman diantara) kamu adalah (orang-orang yang berada
pada) zamanku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabi’it
Tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka - Imran mengatakan: Aku tidak tahu apakah Rasulullah SAW menyebut
setelah zamannya sebanyak dua kali atau tiga kali – kemudian setelah mereka
akan ada suatu kaum yang bersaksi tanpa diminta, banyak orang yang berkhianat
hingga tidak ada lagi yang dapat dipercaya, bernadzar tapi tidak
melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan (karena cinta yang berlebihan
pada makan dan minum).[12]” Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim.
Sesungguhnya
hadits ini (yang menyebutkan: “Kemudian setelah mereka akan ada suatu kaum yang
bersaksi tanpa diminta” tidak bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang menyebutkan: “Sebaik-baik saksi
adalah yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta.”
Makna “tanpa diminta” pada hadits
yang pertama ada tiga kemungkinan:
a.
Saksi palsu, karena saksi palsu
biasanya akan bersaksi tanpa diminta.
b. Melakukan kesaksian dengan bermaksud jahat.
c.
Seperti yang dikatakan oleh Ibrahim
An-Nakha (salah satu perawi sanad hadits ini) ketika ia mengomentari hadits
ini: mereka melarang orang lain melakukan kesaksian, seakan orang lain adalah
kerdil dan tidak mampu melakukannya.
Keempatpuluh satu, Firman
AllahSWT, ولاتسئموٱٱن تكبو ه صغيرا ٲو كبيراٳلىٲجله “Dan janganlah kamu jemu menulis
utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.” Larangan
untuk merasa bosan pada ayat ini karena seringnyatransaksi jual beli dan
dilakukan oleh siapapun, dikhawatirkan para penulis itu merasa jemu untuk menulisnya.
Misal dengan mengatakan, ini hanya
transaksi yang sangat sedikit, aku tidak perlu menuliskannya.
Keempatpuluh
dua, Firman
Allah SWT,
ذلكم أقسط عند ا لله وأ قوم للشهدة وأدنى ألاترتابوٱ “Yang
demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.” Makna kata أقسط adalah lebih
adil, jika penulisan dilakukan kepada yang kecil dan besar. Sedangkan makna
kata وأ قوم adalah lebih menjaga, lebih
menguatkan, dan lebih benar. Makna kata وأدنى adalah lebih dekat, ألا adalah untuk tidak, sementara ترتابو adalah
ragu-ragu.
Keempatpuluh
tiga, Firman
Allah SWT, وٲقوم للشهدة “Dan lebih dapat menguatkan persaksian.” Kalimat ini adalh
sebuah dalil bahwa jika seorang saksi melihat sebuah tulisan mengenai sebuah
transaksi, namun ia tidak pernah mengingat pernah menyaksikannya, maka ia tidak
diwajibkan untuk menunaikan kesaksiannya, karena ia telah dimasuki oleh
keragu-raguan didalam hatinya. Ia hanya diharuskan untuk menunaikan suatu
kesaksian yang ia yakini saja. Jika orang tersebut mengatakan: “ini memang
tulisanku, namun saat ini aq tidak ingat bahwa aku pernah menuliskannya” maka
orang ini tidak diwajibkan bertransaksi.
Keempatpuluh
empat, Firman Allah SWT,ٳلاأ ن تكو ن تجر
ة حا ضر ة تد يرونها بينكم فليس عليكم جنا ح ألاتكتبوها “(tulisan muamalah itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. ”Al Akhfasy
Abu Sa’id berpendapat: maknanya adalah, kecuali terjadi jual beli. Dengan
demikian makna kata تكو ن bermakna telah terjadi.
Keempatpuluh
lima, Firman
Allah SWT, “yang kamu jalankan diantara kamu.” Kalimat ini menunjukkan bahwa
kedua orang yang bertransaksi itu telah melakukan serah terima, yakni berpisah
dengan membawa hasil transaksi mereka masing-masing. Imam
syafi’I pernah mengatakan: transaksi itu ada tiga macam;
1. Transaksi
dengan cara ditulis atau dipersaksikan.
2. Transaksi
dengan cara menggadaikan sesuatu.
3. Transaksi
dengan cara memegang amanah
Ibnu Umar pun ketika bertransaksi
memiliki cara tersendiri, jika secara tunai maka ia akan mempersaksikannya, dan
jika secara berkala maka ia akan menulisnya.
Keempatpuluh enam, Firman
Allah SWT, و ٲ ثهد و ا إ ذ ٳ تبا يعتم “dan
persaksikanlah apabila kamu jual beli.” Ath-Thabary mengatakan: meknanya adalah
persaksikanlah transaksi yang anda lakukan, entah itu transaksi yang besar
ataupun yang kecil.
Al Qurthubi berpendapat,
semua ini adalah penafsiran yang sangat baik dari suatu dalil. Namun ada yang
lebih baik lagi, yaitu sebuah hadits yang tidak perlu untuk ditafsirkan lagi,
mengenai jual beli yang tidak menggunakan persaksian, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Thariq bin Abdillah Al Muharibi, ia pernah
bercerita:
Suatu hari, kami yang
berasal dari Rabadzah dan Rabadzah
selatan, mengadakan suatu perjalanan. Sesampainya kami di suatu tempat yang
sangat dekat dengan kota madinah, kami berhenti sejenak untuk beristirahat
bersama istri-istri kami. Ketika kami sedang duduk duduk, lalu datanglah
seorang laki laki yang mengenakan pakaian berwarna serba putih, ia mengucapkan
salam kepada kamu dan langsung kami jawab. Lalu ia berkata: “Darimanakah
kelompok perjalanan ini berasal?” Kami menjawab: “Dari Rabadzah dan Rabadzah
selatan”.
Kemudian kami pun bercengkrama sambil
melanjutkan istirahat kami. Pada saat
orang tadi melihat bahwa kami membawa unta merah, orang tua itu mengatakan:
“apakah kalian akan menjual unta ini?” kami menjawab: “benar kami akan
menjualnya.” Ia bertanya lagi: “Berapakah harganya ?” Kami menjawabnya: “kadza
wa kadza sha” (sejumlah takaran) buah kurma.” Tanpa menawar dan tanpa basa
basi lagi orang tersebut menerima harga yang kami ajukan, lalu bertanya: “Aku
akan membeli unta ini.” Kemudian ia langsung menarik tali kendali unta tersebut
dan masuk ke kota Madinah.
Lalu kami menyadari bahwa kami sama sekali
tidak mengenal orang tersebut, dan kami pun saling menyalahi satu sama lain.
“Kita telah menyerahkan unta kita kepada orang yang tidak kita kenal” Lalu
salah satu istri kami menenangkan kami : “janganlah kalian saling menyalahkan,
aku melihat wajah orang itu dengan seksama dan sepertinya aku mengenalinya, ia
tidak akan menipu kalian. Kareena aku tidak pernah melihat ada seseorang yang
bersinar wajahnya seperti itu, seperti cahaya bulan yang bersinar pada malam
purnama.”
Kemudian ketika malam tiba, ada seorang
laki-laki yang datang kepada kami dan mengatakan: “As-Salam’alaikum,saya
diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjamu kalian, beliau mempersilahkan anda
semua untuk memakan kurma ini hingga kenyang, dan meinimbang kurma ini hingga
mencukupi harga unta yang dibeli oleh beliau.” Lalu kami pun memakannya hingga
kami merasa kenyang, dan kami juga menimbangnya sesuai harga yang telah kami
tetapkan.
Keempatpuluh
tujuh,
Firman
Allah SWT ولايضار كاتب ولا شهيىد “Dan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulitkan
(dipaksa).” Mengenai makna firman ini ada tiga pendapat dari para ulama:
1.
Seorang penulis tidak boleh menulis jika
tidak didetekkan, dan seorang saksi tidak boleh menambahkan atau mengurangi
dalam kesaksiaannya. Pendapat ini disampaikan oleh Al Hasan, Qatadah, Thawus,
Ibnu Zaid, dan ulama lainnya.
2. Diriwayatkan
dari ibnu abbas, Mujahid, dan Atha’, Bahwa makna firman ini adalah larangan
untuk memaksa seorang penulis untuk menuliskan, dan larangan memaksa saksi
untuk bersaksi. An- Nuhas maengatakan: Abu Ishak lebih condong dengan pendapat
ini. Lalu An-Nuhas juga menambahkan : karena kalimat setelahnya : وان تفعلوا فانه
فسوق بكم "jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu.” Karena, saksi yang melakukan kesaksian
palsu atau menulis yang menambah tulisan yang bukan menjadi haknya disebut
dengan orang fasik, maka orang yang meminta seorang saksi untuk menulis atau
menjadi saksi, padahal orang ini sangat sibuk, maka orang yang meminta menjadi
saksi ini lebih pantas disebut dengan orang fasik. Asal kata يضار menurut kedua pendapat ini adalah يضارر(dengan menggunakan harakat kasrah pada huruf ra’ pertama) kemudian kedua huruf ra’ tersebut
di- idghamkan (disatukan), dan huruf ra’ yang sudah disatukan
tadi dibaca dengan harakat fathah, karena lebih ringan untuk dibaca.
Asal kata ini didukung oleh bacaan yang dibaca oleh Umar bin Khattab, Ibnu
Abbas, dan Ibnu Ishak (yakni: يضارر)
3. Pendapat
ini disampaikan oleh mujahid, Adh-Dhahak, Thawus dan As-Suddi dan diriwayatkan
pula dari ibnu abbas. Firman Allah SWT,
ولايضار
كاتب ولا شهيىد
“Dan janganlah penulis
dan saksi merasa dipersulitkan (dipaksa). “Maknanya adalah: memanggil saksi
untuk mempersaksikan, atau memanggil penulis untuk mempernuliskan, padahal
mereka sedang sibuk. Jika mereka menyampaikan minta maaf dan menyampaikan
alasan kenapa tidak bisa memberikan persaksian atau menulis, dan peminta tetap
memaksa, dan apalagi dengan mengatakan: “jika anda menolak berarti anda
melanggar perintah Allah” atau yang semacamnya, maka hal ini akan membuat
mereka merasa kesulitan. Lalu Allah SWT melarang perbuatan ini (yakni memaksa
penulis atau apapun saksi), karena jika mereka diberikan beban tersebut maka
waktu untuk mereka beribadah dan mencari rizki akan lebih sempit dari pada
biasanya.
Asal kata
يضا ر menurut pendapat ini adalah يضارر
(dengan menggunakan harakat fathah pada
huruf ra’ pertama). Asal kata ini didukung oleh bacaan yang dibaca oleh
Ibnu Mas’ud.
Bentuk rafa’ (harakat dhammah) yang
ada pada kata كا
تب dan
شهيد menurut pendapat pertama
dan kedua adalah karena mereka sebagai fa’il (subjek) dari kalimat
tersebut. Sedangkan menurut pendapat ketiga adalah karena mereka sebagai Maf’ul
(objek) yang menggantikan tempat fa’il yang tidak disebutkan.
Keempatpuluh delapan, Firman
Allah SWT, وان
تفعلوا فانه, فسوق بكم
“jika kamu lakukan (yang demikian) , maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu.” Makna kata تفعلوا “ kamu
lakukan” adalah perubahan pada tulisan atau perubahan pada kesaksian, dan makna
kata فسو ق“suatu kefasikan” adalah kemaksiatan.
Oleh karena itu, para penulis dan para
saksi yang menambahkan ataumengurangi tulisan dan kesaksian mereka adalah orang
orang yang melakukan kemaksiatan, karena penambahan atau pengurangan tersebut
adalah kebohongan yang akan menyakitkan seseorang pada harta atau tubuh mereka.
Keempatpuluh
sembilan,
Firman Allah SWT, واتقواالله ويعلمكم
الله والله بكل شيء عليم “Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” Ini adalah janji Allah SWT, kepada mereka orang
orang yang bertaqwa kepada-Nya maka ia akan mengajarkan mereka. Yakni :
memberikan cahaya pada hati mereka dan memahami segala sesuatu yang ditanamkan
didalamnya. Allah SWT juga akan memberikan ke dalam hati mereka asas kuat yang
dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Allah berfirman يا
يها الذ ين ءامنوااءن تتقواالله يجعل لكم فر قا نا “ Hai orang orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada
Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan.” (Al-Anfal 8: 29).[13]
3. Asbab al Nuzul
Ibnu Abbas mengatakan ayat ini khusus
untuk masalah transaksi Salam (pembelian barang yang diserahkan kemudian hari/
pemesanan, sementara pembayarannya diberikan di muka), dan diturunkan pada
kisah transaksi Salam dalam masyarakat kota Madinah. Itulah asbabunnuzul (sebab
turunnya) ayat ini, yang kemudian oleh ijma para ulama dicakupkan untuk seluruh
transaksi yang berbentuk utang.
Hal ini dibantah oleh madzhab Syafi’i,
mereka mengatakan bahwa ayat ini tidak ada dalil untuk pembolehan penundaan
pembayaran dalam semua transaksi pinjam-meminjam. Akan tetapi, ayat ini
berkenaan dengan ayat untuk bersaksi, yaitu jika ada sebuah transaksi utang
piutang yang memiliki tenggat waktu pembayaran. Kemudian pembolehan penundaan
pembayaran dalam pinjam meminjam dapat diketahui dengan penarikan dalil lainnya
dari ayat ini.[14]
Beberapa ulama
juga mengatakan bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul
salah satunya terbukti dengan ayat 282 yang tersurat dalam QS.
Al-Baqarah. Ayat tersebut turun bukan dilatarbelakangi dari suatu peristiwa
sebagaimana pengertian asbab an-nuzul itu sendiri.[15]
4. Tafsir
Al-Mishbah
Inilah ayat terpanjang dalam Al-Quran,
dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat al-Mudayanah (ayat
utang piutang).[16] Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah SWT.
kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai
orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Kata ___ , diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata _____ ,
Kata ini mempunyai banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh
huruf huruf kata dain itu selalu menggambarkan hubungan antara kedua pihak,
salah satu pihak kedudukannya lebih tinggi dari pihak lain. Kata ini brmakna
hutang, pembalasan, ketaatan, dan agama.[17]
Tuntunan agama melahirkan ketenangan
bagi pemeluknya, sekaligus harga diri. Karena itu agama tidak mengajurkan
seseorang berhutang kecuali sangat terpaksa. “ Hutang adalah kehinaan
diwaktu siang dan keresahan di waktu malam”. Demikian sabda Rosul.
Seseorang yang tidak resah karena memiliki hutang maka dia bukan orang yang
menghayati tuntutan agama.
Salah satu doa popular Rosul
اللهم
اعو ذبك من ضلا ءىل الد ين وغلبة الر جا ل
“Ya Allah aku
berlindung kepada-Mu dari hutang yang memberatkan serta penekanan manusia
terhadapku. Disisi lain beliau bersabda “Penangguhan pembayaran hutang oleh
orang yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perintah menulis dapat mencakup
perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang
menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai
tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka
hendaknya mencari orang ketiga.[18]
Penulis, kedua orang yang melakukan transaksi, dan semua yang terlibat dalam
transaksi diperintahkan berlaku adil dan jujur dalam hal menuliskan dan
mengimlakkan/mendiktekan utang piutangnya.
5. Hikmah Dikeluarkannya Hukum
Tingkatan sosial
yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika
satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial
seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial
sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.
Perbedaan
tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian.
Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam
kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci
tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Allah SWT.
menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang
hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk
persaksian.
Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang
piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
1.
Transaksi utang
piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor)
merasa diperlukan untuk itu.
2.
Pencatatan utang
piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Kondisi sekarang pencatatan
transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3.
Dalam pencatatan
utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki
berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari
saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang
saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua
wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4.
Menghadirkan
kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi
menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.
- Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
- Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.
- Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa.
PENUTUP
Islam adalah agama yang syumul (lengkap atau komprehensif).
Semua hukum telah ada dan diatur dalam Islam. Termasuk masalah ekonomi dan
lebih spesifiknya sampai kepada masalah hutang piutang. Contoh konkrit dalam Alquran
surat Albaqarah ayat 282, ketika dibedah maka kita akan mengetahui secara
mendetail mengenai hukum hutang piutang, berikut tentang tata cara transaksi,
perhitungan, pencatatan (proses akutansi), lama waktu transaksi, syarat pelaku
yang diperbolehkan melakukan transaksi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
kita sebagai umat Islam jangan sampai salah arah. Lakukanlah sesuai dengan
hukum Islam agar tidak ada penipuan dan kesalahpahaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Furqan. 2011. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282
(Sebuah Konsep Sosial Islam). Banda
Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam.
Al Qurthubi. Al Jami’ li Ahkaam Al
Qur’an. Terj. Oleh Rosadi, Sudi. dkk. 2008. Tafsir Ath-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.
Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir
Ath-Thabari. Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Terj. Oleh Askan, Ahsan.
2008. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Shihab, M.
Quraish. 2005. Tafsir
Al-Mishbah . Jakarta: Lentera hati.
http://makalahtentang.info/2011/11/pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.htm. diunduh pada tanggal 14
Desember 2011, pukul 12.34 WIB.
http://masotib.blogspot.com/2011/03/utang-piutang-dalam-hukum-islam.html. diunduh pada tanggal 14 Desember 2011, pukul 12.57
WIB.
[1] HR. Al- Bukhari dan Muslim (dalam Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an.) Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 838.
[2] Ibid, hlm. 838.
[3]
HR. Ahmad dan para penulis kitab sunan lainnya, dan juga Ibnu Hibban. Talkhis Al Habir ( dalam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm.840.
[4] HR. Al-Bukhari (dalam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 845.
[5] HR. Abu Dawud (dalam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm.846.
[6] HR. Imam Malik (dalam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm 846.
[7] Ibid.
[8] Atsar ini disebut oleh Ibnu
Athiyah dalam kitab tafsirnya (2/502. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir
Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta:
Pustaka Azzam. 2008. hlm. 849.
[9] Lih. Tafsir Ibnu Athiyah
(2/50). (dalam Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 866.
[10] HR. Abu Dawud. Lih. Al Jami’ Ash Shaghir (dalam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al
Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 877.
[11] HR. Imam Ahmad, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud, dan Imam Ibnu Majah. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir
Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta:
Pustaka Azzam. 2008. hlm. 885.
[12] HR. Bukhari dan Muslim dari
Imran bin Husain R.A. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari.
Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath-
Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta:
Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 887.
[13] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir
Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta:
Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 836-902.
[14] Ibid. Hlm. 836.
[15] Al Furqan. Manajemen
Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282
(Sebuah Konsep Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darusalam. 2011.
Hlm. 10.
[16] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera
Hati. 2005. Hlm. 602.
[17] Ibid. Hlm. 603.
[18] Ibid. Hlm. 604.
[19] Al Furqan. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS.
Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah
Konsep Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry
Darusalam. 2011. Hlm. 28-29.
[20] Ibid.